Sejumlah seniman dan budayawan Yogyakarta menggelar Sastra Sendaren di Omah Kecebong dengan mementaskan sejumlah penampilan orasi, musik dan puisi, saat senja, 8 Desember 2015.
Mengambil tema yang begitu istimewa yaitu “Sastra Waria”, perhelatan seni budaya Sastra Sendaren dimeriahkan oleh sejumlah tokoh dan seniman antara lain Liek Suyanto, Thomas Haryanto Sukiran, Gati Andoko, Iqbal H Saputra, Budi Sardjono, Maria Widy Aryani, Dr. Aprinus Salam, Rully Malay, Dr. Satiti Muninggar, Ana Ratri, dan lain-lain.
Penggagas Omah Kecebong, Hasan Setyo Prayogo menyampaikan, “Pentas Sastra Sendaren menjadi bukti eksistensi dan jaringan budaya yang penting. Inilah modal sosial budaya yang dimiliki Yogyakarta. Bisa jadi, disitu pula letak keistimewaannya.”
Lebih jauh dikatakan, penyelenggaraan Sastra Sendaren yang didukung oleh Lingkar Budaya Sleman (LBS) serta Pusat Studi Kebudayaan UGM ini semakin diakui berbagai pihak telah menancapkan diri sebagai “jembatan peradaban” yang pertama dan bermakna di Yogyakarta.
Dengan mengangkat Tema “Sastra Waria” merupakan sebuah pemaknaan bahwa sastra adalah bahasa universal yang bisa dijadikan media ekspresi dan apresiasi getaran jiwa. Dan benar, Rully Malay, penyair dari Himpunan Waria Yogyakarta (Hiwayo) membacakan dua puisi yang merekam kisah hidupnya. Diksi yang dia pilih sungguh mengena, aksentuasi yang pas, dan tertata penuh kesabaran, sebagaimana Rully jalani dinamika hidupnya.
Orasi budaya dipentaskan oleh Dr. Satiti Muninggar, seorang aktifis waria dari Malang yang menutup misi digelarnya Sastra Sendaren. Pesannya begitu mendalam, bahwa peradaban hanya bisa dibangun dari kepribadian yang mengutamakan penghormatan atas harkat dan martabat kemanusiaan, tanpa membeda-bedakan asal usul dan latar belakang. “Sebuah kehormatan yang Agung bisa menghadiri perhelatan berbobot seni yang tinggi dan memberikan orasi budaya pada acara satra sendaren di Omah Kecebong,” ujar Dr. Satiti Muninggar menutup.
Pentas Sastra Sendaren dihelat dengan begitu apik di atas hamparan sawah menghijau, dilingkari lampu-lampu minyak (oncor) berjejer di sepanjang pematang, sementara dua boneka wong-wongan “memedi” sawah dipasang seakan menjadi lawan dialog di atas gethek dari bamboo yang memanjang seperti catwalk. Lampu di kiri kanannya teduh menunjam. Panggung pentas disiapkan berjarak hanya 5 meter dengan panggung apresian (penonton) di bangunan rumah limasan di pinggir sawah dgn dua trap (atas dan bawah).
Panggung terbuka Omah Kecebong yang terletak di kawasan desa wisata Sendari akhirnya menjawab kegelisahan banyak kalangan. Sebuah pentas sastra di panggung tengah sawah omah kecebong yang mengkombinasikan alam, seni, budaya dan wisata dalam suasana alamiah, bisa jadi hanya ada di Sastra Sendaren. Sungguh menjadikan pentas kian fenomenal, kontemplatif sekaligus sakral.