KETIKA perekonomian sedang lesu, banyak ide bisnis bermunculan. Ada yang cemerlang, futuristik, ngawur dan sebagainya. Prinsipnya, ide-ide tersebut bermunculan dari benak banyak orang yang tak ingin jadi pecundang. Sebaliknya, banyak dari mereka bahkan mengusung semangat lagu We are the Champions karya kelompok musik rock legendaris dari Inggris, Queen.
Tak tanggung-tanggung pula, sadar atau tidak, mereka juga memraktekkan ‘rawe-rawe rantas, malang-malang putung’ (‘para penggangu harus diberantas, sedangkan yang merintangi wajib dipatahkan’), yang di masa lalu menjadi landasan moral prajurit Jawa untuk memenangi pertempuran. Landasan ini jelas klop dengan sebaris lirik tembang Queen di atas, yang berbunyi ‘no time for losers’.
Di zaman sekarang, semangat saja jelas tak cukup, karena kemampuan membangun network di bidang bisnis dan sosial memiliki peran sangat menetukan keberhasilan seseorang. Di tingkat global, kita sudah lama menyaksikan kejayaan orang Yahudi di sektor keuangan, perfileman, teknologi informasi, dan media massa; dan kaum White Anglo-Saxon Protestant (WASP) di bidang industri manufaktur, militer, pertambangan, pertanian, dan politik.
Betapa dahsyatnya pengaruh network Yahudi di zaman ini tampak dari, antara lain, nama-nama berikut. Di kancah perbankan terdapat nama Rothchild, keluarga bankir terkaya dan paling berpengaruh di dunia. Di dunia komputer terdapat Michael Dell (pendiri dan pemilik Dell Computers), Andrew Grove (pendiri dan pemilik Intel Corp), dan Mark Zuckerberg (penemu jejaring sosial Face Book).
Di industri perfilman Hollywood dan media massa AS, yang sudah lama berada di bawah kendali kaum Yahudi, terdapat Michael Eisner (pemilik Walt Disney studios dan jaringan TV ABC), Jonathan Miller (CEO AOL-Time-Warner), Sumner Redstone (CEO Viacom, yang menguasai Viacom cable, CBS and MTV, jaringan penyewaan video Blockbuster and Black Entertainment TV).
Sedangkan kedahsyatan kaum WASP tampak dari kenyataan bahwa 3 dari 7 kelompok negara termaju di dunia (G7), berada dalam kendali politiknya. Ketiga negara itu adalah Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Kanada. WASP juga menguasai kendali politik di dua negara terkuat di wilayah Pasifik selatan: Australia dan Selandia Baru. Keberhasilan ini tentu tak bisa lepas dari para milyarder seperti Sir Richard Branson (Virgin Group), Warren Buffet (Berkshire Hathaway), Bill Gates (Microsoft), Rupert Murdoch (News Corp), dan Jim Walton (Wal-Mart).
Kesadaran membangun jaringan bisnis dan sosial sebenarnya juga sudah lama terjadi di Indonesia. Orang Minang, misalnya, sudah lama berhasil mengembangkan restoran padang di seantero Nusantara, orang Tegal dengan warteg, orang Madura dengan bisnis besi tua, orang Bugis-Makasar dengan pelayaran tradisional, dan orang Lamongan dengan warung soto ayamnya. Paling mencolok, tentu saja, orang Cina lantaran berhasil mendominasi sektor swasta dari hulu sampai hilir, kecuali kakilima.
Namun berbeda dengan WASP dan Yahudi yang terus begulir bagai bola salju di seluruh pejuru dunia, meski ada yang sudah go international, jaringan bisnis orang Indonesia seolah justru kian terdesak. Mereka kian terdesak oleh jaringan bisnis global dan membuat ide Indonesia Incorporated, yang meniru Japan Incorporated, kini tinggal kenangan. Semangat berdikari (berdiri di atas kaki sediri), yang pernah digelorakan oleh mendiang Presiden Soekarno, pun seolah telah berubah menjadi sekadar jargon politik untuk menarik simpati publik.
Mereka yang tidak suka pada kenyataan ini, biasanya suka meneriakkan bahaya kapitalisme global. Salah satu alasannya, bangsa Indonesia akan diperbudak oleh orang asing. Kaum new left ini bahkan tak segan menuding para pendukung newliberalism sebagai pengkhianat bangsa lantaran gemar membuka pintu bagi modal asing.
Kritik semacam itu pernah menghantam Deng Xiaoping ketika baru diangkat menjadi pemimpin Cina pada 1978. Mereka menolak liberalisasi ekonomi Deng lantaran berlawanan dengan sosialisme. Modal asing, kata mereka, adalah ancaman terhadap industri dalam negeri yang telah dibangun dengan susah-payah oleh para kader komunis Cina. Deng yang geram menyaksikan merajalelanya kemiskinan, lalu berucap, “Tak jadi soal bila itu adalah kucing putih atau hitam; selama bisa menangkap tikus, itu adalah kucing yang bagus.”
Hasilnya, hanya dalam waktu 20 tahun, Cina bermutasi dari raksasa loyo menjadi salah satu dari lima ekonomi terbesar di dunia. Melalui merger dan akusisi, serta alih teknologi legal dan ilegal, industri manufakturnya tumbuh menjadi pemain kelas dunia. Di sana juga bermunculan entrepreneur beraset miliaran dollar AS dengan latar belakang etnik beragam seperti Hakka, Kanton, Sichuan, dan sebagainya. Melalui jaringan bisnis dan etnik di luar negeri, para pebisnis itu menerobos pasar dunia, sehingga barang-barang buatan Cina kini betebaran di mana-mana, termasuk negara-negara maju.
Menyaksikan kisah sukses Cina, India yang juga sarat dengan kemiskinan kemudian mengikuti jejak Deng. Diawali oleh Perdana Menteri Manmohand Singh ketika masih menjadi Menteri Keuangan India dalam pemerintahan Perdana Menteri Narasimha Rao pada 1991. Kedua tokoh ini sepakat untuk menghabisi Hindu Growth, yaitu pertumbuhan ekonomi rata-rata 3% per tahun. Lalu, mereka melakukan liberalisasi ekonomi, yang terbukti berhasil melipatgandakan pertumbuhan ekonomi India.
Meski dituding sebagai antek asing oleh lawan-lawannya, Singh ternyata malah terpilih sebagai perdana menteri pada 2004. Pertumbuhan ekonomi India pun kian melaju. Maka, pada 2007, Goldman Sachs bahkan merilis konsep BRIC (Brazil, Rusia, India, dan Cina) sebagai perekonomian paling cerah di dunia dalam beberapa dekade ke depan.
Kini, siapa pun yang keluar sebagai pemenang dalam Pilpres, harus memiliki sikap yang tegas dan efektif untuk memerangi kemiskinan. Para tokoh seperti Manmohand Singh, Deng Xiaoping, Soekarno tentu bisa dijadikan acuan. Sedangkan tujuan akhirnya, jelas, adalah agar Indonesia tidak bernasib seperti sebuah judul lagu karya The Beatles: I’m A Loser. (Gigin Praginanto)
POPULAR, Juni 2009